Jumat, 05 Oktober 2012

Program Benteng

Program Benteng adalah kebijakan ekonomi yang diluncurkan pemerintah Indonesia bulan April 1950 dan secara resmi dihentikan tahun 1957. Tujuannya adalah membina pembentukan suatu kelas pengusaha Indonesia "pribumi" (dalam arti "non-Tionghoa).

Latar belakang

Pada tahun 1950-an, ada tekanan politis yang meningkat agar kekuasaan ekonomi diambil dari perusahaan swasta Belanda yang masih ada di Indonesia saat itu, demi penyelesaian Revolusi. Namun, Indonesia masih memerlukan modan dan keterampilan asing untuk menghasilkan pembangunan ekonomi yang diperlukan untuk menghadapi peningkatan jumlah penduduk. Bulan Februari 1950, presiden Soekarno sudah sempat menyampaikan kepada kalangan perusahaan asing bahwa pemulihan ekonomi Indonesia setelah selesainya Revolusi memerlukan dikerahkannya segala sumber modal, baik asing maupun dalam negeri. Tahun 1953 menteri Keuangan Ong Eng Die menyatakan bahwa peranan perusahaan asing dalam pembangunan ekonomi Indonesia perlu dicantumkan secara jelas dalam rencana pembangunan mendatang.
Program Benteng merupakan suatu cara mengembangkan peranan orang Indonesia dalam ekonomi tanpa merugikan perusahaan asing, terutama Belanda.

Pelaksanaan

Program Benteng melewati sejumlah tahap, dengan pengubahan dalam banyak kesempatan. Program terutama mencakup impor, karena modal yang diperlukan tidak terlalu besar. Lagipula, peranan Belanda sangat terasa di bidang ini, terutama lewat lima perusahaan niaga besar.
Pada mulanya yang ditekankan adalah barang mana yang wajib diimpor oleh pengusaha pribumi. Kemudian, yang dibicarakan adalah persyaratan mengenai kelayakan memperoleh lisensi impor. Tahun 1950 sudah sempat ditentukan bahwa paling tidak 70% dari pemegangan saham perusahaan harus dimiliki "bangsa Indonesia asli". Bulan Mei dan Juni 1953, debat mengenai penaikan persentase ini, termasuk tuduhan diskriminasi terhadap importir Tionghoa, berakibatkan jatuhnya Kabinet Wilopo.
Program Benteng ditinjau kembali bulan September 1955 oleh Kabinet Burhanuddin Harahap dan menteri Keuangan Sumitro Djojohadikusumo. Syarat berdasarkan suku dicabut dan diganti dengan persyaratan ketat mengenai pembayaran uang muka.
Dibentuknya Kabinet Karya di bawah Djuanda Kartawidjaja bulan Maret dan April 1957 ditandai dengan pengalihan ke "ekonomi terpimpin". Program Benteng resmi dihentikan.

Gunting Sjafruddin

Gunting Sjafruddin adalah kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Syafruddin Prawiranegara, Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta II, yang mulai berlaku pada jam 20.00 tanggal 10 Maret 1950.
Menurut kebijakan itu, "uang merah" (uang NICA) dan uang De Javasche Bank dari pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua. Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula sampai tanggal 9 Agustus pukul 18.00. Mulai 22 Maret sampai 16 April, bagian kiri itu harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempat-tempat yang telah ditunjuk. Lebih dari tanggal tersebut, maka bagian kiri itu tidak berlaku lagi. Guntingan kanan dinyatakan tidak berlaku, tetapi dapat ditukar dengan obligasi negara sebesar setengah dari nilai semula, dan akan dibayar empat puluh tahun kemudian dengan bunga 3% setahun. "Gunting Sjafruddin" itu juga berlaku bagi simpanan di bank. Pecahan Rp 2,50 ke bawah tidak mengalami pengguntingan, demikian pula uang ORI (Oeang Republik Indonesia).
Kebijakan ini dibuat untuk mengatasi situasi ekonomi Indonesia yang saat itu sedang terpuruk--utang menumpuk, inflasi tinggi, dan harga melambung. Dengan kebijaksanaan yang kontroversial itu, Sjafruddin bermaksud sekali pukul menembak beberapa sasaran: penggantian mata uang yang bermacam-macam dengan mata uang baru, mengurangi jumlah uang yang beredar untuk menekan inflasi dan dengan demikian menurunkan harga barang, dan mengisi kas pemerintah dengan pinjaman wajib yang besarnya diperkirakan akan mencapai Rp 1,5 miliar.